Dibandingkan dengan Theys, secara institusional ULMWP lebih tepat untuk konteks saat ini dan lebih berdampak secara internasional.
Theya Hiyo Eluway(Foto:ampnews.com) |
JAKARTA,GAM-PB Setelah kematian pemimpin adat
Papua yang kharismatik, Theys Hiyo Eluway, belum ada tokoh pemersatu Papua
dalam memperjuangkan tuntutan politik rakyat Papua. Namun, adanya wadah
pergerakan politik kaum muda Papua yang disebut United Liberation Movement for
West Papua, arah gerakan Papua lebih jelas.
Hal ini
dikatakan oleh peneliti Lembaga Ilmu Penegtahuan Indonesia (LIPI) yang
mendalami permasalahan Papua, Adriana Elisabeth, menjawab pertanyaan satuharapan.com.
Adriana dimintai pendapatnya tentang peristiwa ditangkapnya ratusan aktivis
ULMWP di Jayapura Senin (2/5) yang menuntut diberikannya hak penuh sebagai
anggota bagi ULMWP di organisasi sub-regional, Melanesian Spearhead Group
(MSG).
Adriana
Elisabeth juga diwawancarai sehubungan dengan akan diadakannya konferensi tentang
Papua oleh International Parliamentarians for West Papua (IPWP) di London, pada
3 Mei. Pertemuan yang digagas oleh ULMWP itu mengagendakan perumusan
strategi untuk penyelenggaraan penentuan nasib sendiri bagi Papua, paling tidak
akhir dekade ini. Paling tidak 95 politisi dan anggota parlemen dari berbagai
negara menandatangani dukungan bagi penentuan nasib sendiri Papua. Sejumlah
pemimpin negara Pasifik dijadwalkan hadir dalam pertemuan itu.
Menurut
Adriana, walaupun Theys tak ada lagi dan belum ada tokoh pemersatu di antara
berbagai faksi perjuangan rakyat Papua seperti Theys, keberadaan ULMWP membuat
arah gerakan Papua lebih jelas dalam mendorong agenda politik untuk menuntut
penyelesaian pelanggaran HAM di Papua, pelurusan sejarah politik Papua, dan referendum
menuju kemerdekaan politik.
Memang, kata
dia, kaum muda yang membentuk ULMWP tidak bisa dibandingkan dengan Theys yang
karismatik. Namun, baik ULMWP maupun Theys sama-sama memiliki peran
mempersatukan gerakan Papua. "ULMWP lebih tepat untuk konteks saat ini dan
secara institusional lebih berdampak di tingkat internasional," kata dia.
Mengenai
pertemuan IPWP di London, menurut Adriana, hal itu harus tetap dicermati dan
diantisipasi. "Untuk mengantisipasi perluasan isu Papua secara
internasional, sekecil apa pun pengaruhnya perlu diupayakan untuk
dicegah," tutur dia.
Ia mengakui
belum tahu apa agenda pertemuan tersebut. "Tetapi mungkin akan ada update
tentang 'kemajuan' penyelesaian kasus HAM di Papua, khususnya di masa Jokowi.
Komitmen presiden untuk menyelesaikan seluruh kasus HAM tahun ini termasuk di
Papua, kalau secara politis tentu tidak sejalan dengan proses rekonsiliasi yang
memerlukan beberapa tahap, seperti pengakuan, restorasi, kompensasi dan
seterusnya," kata Adriana.
Namun,
penyelesaian HAM, kata dia, dapat dimasukkan sebagai salah satu agenda dialog
nasional. Ini menjadi bagian dari mediasi untuk perdamaian jangka panjang di
Papua.
Menurut
Adriana, upaya ULMWP dalam menggalang dukungan internasional tidak boleh
dianggap enteng. Ia mencontohkan Juru Bicara ULMWP, Benny Wenda, terus berupaya
menggalang dukungan internasional, terutama dengan mengusung kasus-kasus
kekerasan di Papua yang mengarah pada pelanggaran HAM. Di antaranya dengan
menggalang dukungan dari Benua Hitam Afrika.
Adriana menambahkan,
pemerintah memang telah memberikan otonomi khusus kepada Papua lewat UU Otsus.
Ini, dalam hemat Adriana, merupakan bagian dari pemberian hak menentukan nasib
sendiri, dalam pengertian Papua diberikan otoritas untuk mengatur daerahnya
sendiri. Ini tampak, misalnya, dari posisi kepala daerah d itangan orang asli
Papua. Juga alokasi dana Otsus.
Namun
demikian, Adriana mengakui dalam implementasinya, UU Otsus Papua yang harus
tetap mengacu pada "template" nasional yang juga berlaku di daerah
lain di Indonesia, membuat hak menentukan nasib sendiri itu tidak optimal.
"Apabila yang dimaksud self-determination adalah memperoleh kebebasan politik secara penuh, maka hal ini tidak akan pernah diberikan oleh Pemerintah Indonesia," kata Adriana.
"Apabila yang dimaksud self-determination adalah memperoleh kebebasan politik secara penuh, maka hal ini tidak akan pernah diberikan oleh Pemerintah Indonesia," kata Adriana.
Adriana
mengatakan, perjuangan Papua untuk menentukan nasib sendiri adalah proses yang
akan memakan waktu sangat panjang. Ia tidak yakin dapat diselesaikan dalam satu
dekade.
Theys Hiyo
Eluay ditemukan terbunuh di mobilnya di Jayapura pada 10 November 2001.
Wikipedia mencatat, penyidikan pembunuhan ini mengungkapkan bahwa
pelakunya adalah oknum-oknum Kopassus, yang kemudian telah dipecat secara tidak
hormat.
Eluay
dimakamkan di sebuah gelanggang olahraga di tempat kelahirannya di Sentani,
pada sebuah tanah ada yang sudah diwakafkan oleh para tetua suku. Pemakamannya
dihadiri kurang lebih 10.000 orang Papua. Sebuah monumen kecil di jalan
raya antara Jayapura dan Sentani didirikan untuk mengenang pembunuhan itu.(SATUHARAPAN.COM)
0 Response to "Kaum Muda Papua Andalkan ULMWP Setelah Kematian Theys"
Posting Komentar