APUA semakin sering
dibicarakan. Tetapi hanya bahan mainan, tanpa kesungguhan dan derajat
kemendesakan. Papua boleh banjir kebijakan, tetapi kering kejujuran dan
penyelesaian.
Satu-satunya wilayah di Indonesia yang tidak diakui kehendak
politiknya adalah Papua. Dan Papua adalah salah satu bagian sejarah Indonesia
yang gelap dari pengetahuan banyak orang.
Pada 26 Februari 1999, kelompok 100 Papua, dipimpin oleh Tom
Beanal, bertemu Presiden B. J. Habibie untuk menegaskan kehendak merdeka.
Sebulan sebelumnya, presiden memberikan opsi Referendum pada Timor Leste. Kini
Timor Leste sudah merdeka, dan Papua masih terus menuntut kemerdekaan. Tetapi
negara sudah menganggapnya final, tanpa pernah ada pertandingan final yang fair.
Berbagai kehendak politik orang Papua hanya dianggap angin lalu.
Sebagian orang-orang Papua telah sejak awal menuntut
kemerdekaan sebelum diintegrasikan ke wilayah Indonesia—tanpa menghilangkan
kenyataan orang-orang yang juga setuju berintegrasi dengan Indonesia. Faktanya,
hingga saat ini, Bintang Kejora terus menjadi simbol kekuatan pembebasan
orang-orang Papua. Tak sedikit yang rela berkorban hidup demi berkibarnya
bendera itu. Tanpa pengakuan ini, selamanya moncong senjata dan ketidakadilan
menjadi makanan pokok yang diberikan negara pada Papua.
Dialog selalu digadangkan sebagai solusi. Dialog tidak
membunuh, demikian Muridan Widjojo menegaskan. Tetapi kematian datang semakin
cepat, baik oleh senjata maupun oleh penyakit-penyakit yang dibiarkan tanpa
penanganan sungguh-sungguh.
Syarat dialog tak mau atau dihindari jadi bahan diskusi.
Bagaimana mau berdialog jika tidak ada kebebasan di Papua? Bagaimana bisa
berdialog bila tidak ada pengakuan bahwa Papua MEMANG memiliki masalah
kebangsaan, dan NKRI harga nyawa adalah sumber masalahnya?
Pembebasan beberapa Tapol adalah satu-satunya tindakan
berbeda di era pemerintahan ini. Tetapi rehabilitasi tidak ada. Kenapa banyak
orang-orang Papua menjadi tahanan politik? Mengapa persoalan politiknya tidak
pernah mau dibicarakan? Bukankah disanalah letak kegagalan pendekatan
‘pembangunan’ itu? Bukankah dari sanalah sumber kecurigaan, stigma dan
ketakutan terhadap separatisme berasal? Tidakkah bangsa Indonesia, seharusnya,
sudah bisa lebih dewasa karena sudah punya pengalaman menangani Aceh dan Timor
Leste? Kenapa memelihara paranoia?
Kenapa ‘khawatir’ dengan aspirasi itu dan berpikir: kalau
merdeka nanti akan lebih buruk; orang-orang Papua akan berkelahi satu sama
lain; orang Papua tidak mampu mengurusi perkara mereka sendiri. Kenapa
bertindak sebagai hakim? Kenapa Papua tidak boleh merdeka, jika kenyataannya
negara tidak sanggup memenuhi kehendak dan cita-cita orang-orang Papua?
Tidakkah orang Papua boleh mencoba peruntungan lainnya? Tidakkah Indonesia
merdeka dalam keadaan jauh lebih miskin dari Papua saat ini?
Tapi baiklah jika negara menganggap NKRI harga mati, dan kita
begitu sayang Papua berpisah dari Indonesia.
Bila demikian, mengapa meningkatnya kematian dan penyakit
yang sudah bisa disembuhkan di Papua tidak mengkhawatirkan banyak orang?
Mengapa BPS tidak mendata (percepatan) kematian orang-orang Papua asli? Mengapa
lebih banyak orang-orang Papua asli menghuni penjara-penjara Papua? Mengapa
lebih banyak orang-orang Papua asli yang tidak bisa sekolah? Mengapa setelah
puluhan tahun tidak bertambah signifikan jumlah orang-orang Papua yang menjadi
sarjana ahli, selain sarjana-sarjana pemerintahan dan tentara?
Hasil puluhan tahun ‘pembangunan’ di Papua justru menurunnya
populasi orang Papua asli yang kini tinggal berjumlah 1.7 juta jiwa, berbanding
1.980 juta jiwa pendatang.
Mengapa para pejabat Papua asli juga tidak banyak yang
menganggap persoalan ini mendesak? Mengapa celah-celah di dalam UU Otsus, walau
banyak kekurangan di sana sini, tidak digunakan untuk mengatasi kematian,
melindungi yang tersisa dan menegakkan keadilan?
Kini, sedikitnya 677.000 hektar hutan telah, sedang, dan akan
dialihfungsikan menjadi HPH dan perkebunan, terutama Sawit, serta pertambangan
di Sorong, Sorong Selatan, Teluk Wondama, Teluk Bintuni dan Fak Fak. Jumlah itu
hanya yang tercatat dan dapat dideteksi. Di Merauke, seluas 2,5 juta hektar
sudah diperuntukkan bagi proyek MIFEE (Merauke Integrated Food & Energy
Estate) dan 1,2 juta hektar untuk Kawasan Sentra Produksi Pertanian. Belum
terhitung jutaan hektar yang sudah lebih dulu diduduki PT. Freeport Indonesia.
Lahan seluas MIFEE diduduki oleh 33 perusahaan. Sementara
lahan lainnya diduduki oleh kelompok-kelompok korporasi nasional dan
internasional, seperti Musim Mas Group milik Bachtiar Karim; Raja Garuda Mas
Group milik Sukanto Tanoto; Sinar Mas Group milik Eka Tjipta Widjaja; Salim
Group milik Anthony Salim; Rajawali Group milik Peter Sondakh; Austindo
Nusantara Jaya Group (ANJ) milik George Tahija; Perusahaan Kayu Lapis
Indonesia; Medco Group; Korindo Group; Tadmax; Pacific Interlink; The Lion
Group; Noble Group; Carson Cumberbatch; PTPN II Arso; dan Yong Jing Investment.
Dalam banyak kasus, perusahaan sudah mengantongi izin dan hak
pengelolaan tanah hutan tanpa musyawarah dan persetujuan masyarakat. Perusahaan
sering menggunakan cara-cara ‘tipu-tipu’ atau intimidasi, melibatkan oknum
aparat pemerintah dan keamanan maupun lembaga perantara berasal dari warga
setempat. Sangat mudah bagi perusahaan menciptakan konflik dalam masyarakat
dengan cara memecah-belah mereka menjadi pro dan kontra demi keuntungan
perusahaan (Pusaka: 2015).
Di dalam lansekap inilah pendekatan keamanan dan
kesejahteraan terus diulang-ulang sebagai solusi Papua. Setiap pemerintahan
menjanjikan dan membuat kebijakan yang menurutnya lebih baik dari pemerintahan
sebelumnya.
Lalu dalam hal apa janji Jokowi pada Papua lebih baik dari
program-program UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua
Barat) era SBY? Mantan Deputi Bidang Pengembangan Ekonomi dan Infrastruktur
UP4B, Ferrianto H Djais, mengatakan bahwa kesalahan pembangunan di Papua
karena tidak seusai dengan kebutuhan masyarakat; fokus infrastruktur tidak
melibatkan masyarakat asli sehingga masyarakat Papua hanya jadi penonton.
Pada Maret 1949, Van Eechoud, pejabat Belanda di Papua,
menolak laporan memorandum rahasia yang dibuat Komisi Studi Nieuw Guinea
tentang potensi ekonomi di Papua. Ia menolak anggapan bahwa secara ekonomis
orang Papua belum mampu membangun infrastruktur demi pembangunan ekonomi.
Menurutnya orang Papua tidak malas dan bodoh. Banyak orang berpaham dangkal dalam
melihat Papua dan tidak memahami persoalan akulturasi yang dihadapi mereka.
Pendidikan untuk meningkatkan keterampilan yang paling dibutuhkan, karena
mereka juga menginginkan kehidupan yang lebih baik. (Meteray: 2012)
Lima puluh tiga tahun sudah Papua diintegrasikan ke dalam
NKRI, bagaimana mungkin pengetahuan sederhana dari pejabat kolonial seperti
Eechoud tidak dimiliki pengambil keputusan di negara Indonesia merdeka?
Program-program infrastruktur yang menjadi kebanggaan
pemerintah Jokowi telah membuat orang-orang Papua mati rasa. Tentu orang-orang
Papua membutuhkan jalan yang menghubungkan antar
kampung/distrik/kabupaten/propinsi. Tetapi mengapa jalan-jalan hanya dibangun
di jalur-jalur perusahaan? Mengapa jalan-jalan yang sudah ada pun hanya untuk lalu
lalang mobil dan truk perusahaan?
Tol laut macam apa yang sedang disiapkan pemerintah agar bisa
membawa Mama Mama memasarkan hasil kebun seperti pisang, kasbi, talas dan
pinang? Hingga saat ini hasil-hasil kebun masyarakat Teluk Wondama dibawa
dengan kapal penumpang biasa ke Manokwari, berganti kapal untuk lanjut ke Biak
demi membawa pulang uang beberapa ratus ribu saja—yang habis untuk biaya
perjalanan dan ongkos angkut-angkut. Apakah kapal-kapal itu yang disebut tol
laut?
Mengapa tak kunjung dibangun pasar bagi Mama Mama Pedagang
Asli Papua? Ketika pembangunan 1 pasar saja tak berhasil dalam satu tahun,
harus menunggu berapa puluh tahun lagi agar sekolah dan pusat layanan kesehatan
berdiri di kampung-kampung? Mengapa 1200 orang begitu cepat datang untuk
Ekspedisi NKRI tapi tak ada yang bisa tinggal di kampung untuk mengobati orang?
Mengapa tidak mengakui ada pelanggaran HAM di Tanah Papua?
Mengapa tidak punya keinginan melakukan penyelidikan dan peradilan terhadap
berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sejak 1960-an? Di empat wilayah
saja: Biak, Manokwari, Paniai, dan Sorong, terdapat 749 jenis kejahatan HAM terhadap 312 laki-laki dan 56
perempuan yang berhasil dihimpun. Belum termasuk 4146 korban jiwa lainnya selama operasi militer
1977-1978 di sekitar Wamena, Pegunungan Tengah, Propinsi Papua.
Kejahatan HAM di Papua adalah kenyataan, bukan kendaraan
politik untuk minta merdeka, seperti tuduhan jahat Komisi I DPR, Tantowi Yahya.
Mengapa Jokowi masih saja diam seribu bahasa atas puluhan ribu pusara tanpa
nama itu?
Lalu, masih sajakah Anda tidak rela jika semua ini telah dan
sedang mengeraskan perjuangan orang-orang Papua untuk merdeka? Dan tidakkah itu
jauh lebih baik ketimbang menunggu hingga punah dari tanahnya sendiri?***
Sumber: ndoprogress.com
0 Response to "Kenapa Papua Tidak Boleh Merdeka?"
Posting Komentar